20 Januari 2008

DIAM ITU EMAS!

(BISA jadi ya! Bisa jadi tai! Saat ini saya sedang mencoba menjalani pepatah yang selalu kontroversi ini!)

15 Januari 2008

BUKU YANG COBA DIBACA


Kita Dusta dari Surga

Aguk Irawan MN

P_Idea, Kelompok Pilar Media (2007)

xx+384

NOVEL berlatar dari kerancauan konsep ‘surga’ yang selama ini ditemukan di kalangan umat islam. Dalam ceritanya seorang tokoh (bernama Farisi) yang membatalkan haknya lolos diterima di surga, karena ia merasakan sesuatu hal yang ganjil, akhirnya memilih balik ke dunia. Baginya dunia adalah hidup yang sesungguhnya. Di surga Farisi merasakan semua menjadi sia-sianya--perjuangannya melawan hawa nafsu selama di bumi--karena di surga hawa nafsulah yang menguasai manusia dan sifatnya kekal.

Penulis Aguk Irawan yang belajar Aqidah Filsafat di Universitas al-Azhar Kairo. Sekarang aktif di LaBBaiik (Lembaga Berbudaya Islam Indonesia dan Kesenian), Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Yogyakarta, Pengurus Pusat Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU (LKKNU) Jakarta.

Buku yang sudah lama saya dengar, pertama kali dari Kangmas Guru. Karena nggak pernah bisa pulang Jogja maka setiap teman yang pergi ke Jogja selalu saya nitip buku ini, hasilnya dengan tangan kosong--mungkin karena mereka-mereka bukan orang atau pernah tinggal di Jogja, jadi nggak tahu dimana mendapatkan buku-buku murah dan langka di Jogja.

Buku yang ringan dalam penceritaan namun kaya filosofis, masih bisa dibaca sambil mendengarkan koleksi musik, untuk menambah keseimbangan hati

Alasan pribadi kenapa saya “lajel salek” memiliki buku ini, karena setting penceritaan yang baru, ditulis oleh anak muda yang tinggal di Jogja. Dan ini penghormatan dan cara saya ikut menjaga atmosfir berkarya di Jogja.


Engineer of Happy Land:

Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni

Rudolf Mrazek
Yayasan Obor Indonesia (2006)
xxii+442

Rudof Mrazek adalah Profesor Sejarah di Universitas of Michigan, penulis Bali: The Split Gate to Heaven dan Syahrir: Politics and Exile in Indonesia.

Mrazek dengan jernih analisis-analisinya mampu menyelusuri jejak-jejak kebebasan kolonialisme, nasionalisme, kesusastraan, revolusi, dan kemanusiaan. Dalam bukunya ini, kita akan diajak berkenalan dengan nama baru atau semakin dalam kenalnya beberapa nama yang sudah di Anda kenal, nama-nama berpengaruh dibidangnya seperti; H.F Tilema, seorang seorang apoteker yang juga penulis Kromoblanda (Hindia Belanda), Dr. Jan Willem Ilzerman tukang insinyur yang membangun jalur-jalur kereta di Hindia Blenda, R.A. Kartini wanita Jawa yang modern, Mas Marco seorang linguis dan pemberontak, politisi sayap kiri dan wartawan Belanda Win Wertheim guru besar hukum dipeguruan tinggi di Batavia beserta istrinya Hety penulis tentang kesenian, dan sampai pada surat-surat pribadi Pramoedya Ananta Toer sastrawan revolusi.

Kerana menyelusuri dan menemukan serpihan-serpihan sejarah maka saya membacanya bisa sambil nyruput kentalnya-manisnya kopi biar membantu mengencerkan otak yang beku untuk tetap setia dalam menyelusuri perjalanan ini.

Mengapa saya punya buku ini & coba-coba baca? Ya, siapa tahu suatu saat saya, keluarga, atau teman bisa mendapatkan tambahan pengetahuan baru dari isi bukunya. Dan kalau ada yang berminat boleh pinjam kok!


"POETRY BATTLE" HIP HOP JAPEMETHE


REFERENSI saya dari Jakarta, begitu kaki ini menginjak Tanah Perdikan Jogjakarta, segera cari CD “POETRY BATTLE”! CD yang berisi barisan rapper-rapper muda Jogja, ada nama Kill The DJ A.K.A Mohamad Marzuki—si anak petani dan guru agama dari Prambanan—ini anak desa diperbatasan Jogja-Klaten, ternyata ia mempunyai kesibukan yang sangat modern :-p seperti; founder Parkinsound: Elektronic Music festival, Jogja Hip-Hop Foundation, United of Nothing, & aktif di dunia Performance Art: “Jauhkan Aku dari Seni Yang Cerdas”. Dan ada lagi nama ROTRA, yang pasti anak-anak muda medio 90-an kenal nama G-TRIBE (Anto ‘Gantas’ & Iqbal) yang ngerep dengan bahasa Jawa “Melu Menek Jambe” & “Jogo Parkiran”. Dan ROTRA adalah proyek Anto ‘Gantas’ & Lukman ‘Rajapati’.

CD yang berisi 10 kata-kata cepat ini diambil dari karya-karya puisi-puisi tradisional sampai ke puisi kontemporer; Serat Centhini, Gatholoco, dan Serat Jayabaya (abad ke-17 dan ke-18), Chairil Anwar, Sindhunata, Sitok Srengenge, Afrizal Malna, Saut Situmorang, dan Acep Zam Zam Noor.

Ini saya kutipkan kata-kata sakti yang sangat layak diresapi kita bersama, dari Yayasan Berkata-Kata Cepat yang menjadi salah satu pengantar di CD “POETRY BATTLE” :
Di Jogja Hip-Hop Foundation, hampir setiap crew memiliki komposisi rap dalam bahasa Jawa. Selebihnya campuran antara Inggris-Indonesia-Jawa. Kami tidak tahu, apakah ini sebuah anugrah atau justru representasi atas ke-udik-an, ketika melihat seorang anak muda berumur 20 tahunan memilih bahasa Jawa sebagai bahasa ungkapan dalam sebuah medium ekspresi yang trendy? Yang pasti ini bukan semangat revitalisasi bahasa tradisional, kita bukan generasi yang memikul beban itu, juga tidak sedang memperjuangkan apa pun atau sedang melawan apa pun. Bukan tentang underground dan major, bukan tentang kapitalis atau umpatan khas rap yang ‘fuck the system’ itu, lebih pada bahwa hip-hop adalah kejujuran: apa bahasa ungkap yang paling akrab di mulut kamu. Seberapa keren kamu berusaha belajar bahasa Inggris, kemudian kamu belajar nge-rap sebagai epigom atas Eminem, tetap saja dari dialeg dan aksen kamu akan kelihatan dari mana kamu berasal. Dalam estetika rap, aksen unik adalah nilai lebih, kamu tidak perlu menutup-nutupi hal itu dengan berusaha menjadi orang lain.

Mencari dan mendapatkan CD ini, wujud apresiasi saya dalam memenuhi kepuasan, kenikmatan, dan kebanggaan sebagai cah Jogja yang belum memberikan apa-apa atas kejogjaannya. Dalem nyuwon sewu…


SAMBUT 2008


PESTA & DOA, yang biasanya menjadi ritualnya orang-orang kota untuk merayakan pergantian tahun. Tapi tidak semua, ada juga yang mencoba menghindari hiruk-pikuk perayaan dengan konteplasi atau mengevaluasi diri bersama pasangan atau keluarga dengan cara napak tilas atas langkah kaki kehidupan yang sudah dijalani selama satu tahun.

Puncak pergantian tahun ini, saya malah tidur nyenyak ngeloni Cellus. Dari jauh terdengar sayup-sayup suara garwoku & ipar duet karaoke.
Yang keluar dari igauan saya: "Ya, selalulah mencoba & berusaha 'Y'ang 'T'erbaik dalam menggenapi hari-hari kita!"

"Selamat Nakal dan Tahun Baru :-p" Pesan singkat bagus yang saya terima sebagai pengantar tidur dari si bos




Foto: Lila

JOGJA KEMBALI MENGGOYANG LIDAH


TIBALAH sudah penantian panjang kami, 26 Desember 2007 menjadi tanggal yang sangat keramat bagi keluargaku; kegembiraan yang sekaligus juga menegangkan. Karena hari Rabu tanggal itu kami balik ke Jogja, ini menjadi tekad besar kami setelah sekian lama saya dan garwoku tidak mencium tanah kelahiran—kami sama-sama asli Jogja. Dan pulkam ini sekalian menjadi bagian dari rencana mengenalkan kampoeng halaman Marcellus Matahari Putra Java (Cellus) anak, semata wayang kami yang berumur 15 bulan.

Sekedar cerita tambahan, kalau kami selesai menghitung hari H ke Jogja. Kami berdua selalu mengakhirinya dengan ritual gaya dan teriakan “Jogja...Jogja...Jogja...!!” (seperti iklan rokok di TV), wagu!

Begitu habis masa nostalgia dan beranjak meninggalkan Jogja, selalu ada kegelisahaan pada diri saya, karena kota ini tidak pernah bisa memuaskan—extrimnya sampai taraf bosan—diri saya, selalu ada saja yang kurang. Ketika sampai di Jakarta lewat YM! seorang teman di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sempat tanya; memang belum puas 10 hari di kampoeng halaman? Saya hanya bisa jawab dengan sebuah pepatah “dalamnya laut bisa diukur, dalamnya Jogja nggak ada yang tahu.”

Karena itu saya tidak akan cerita masalah tempat-tempat di Jogja karena bagi saya masuk ke wilayah teritorial Jogja semua menjadi berarti mulai dari anginnya, baunya, debunya, airnya, sampai yang jelas-jelas ketok mata semua menjadi berarti, bisa sampai bergidik, kalau membicarakan Jogja dan dalam hati bisa berujar pancen asu Jogja ki. Makanya saya hanya akan cerita tentang makanan-makanan saja yang berselera lidah deso Jogja aja ya?!

Cinta, mencitai kadang berawal dari lidah turun hari, siapa tahu Anda juga bisa mencintai Jogja melalui makananya. Tapi yang saya tulis ini hanya sedikit jumlahnya dari makan-makanan yang ada, dan ini sifatnya sangat subyektif—karena ini makanan-makanan yang bikin saya klepek-klepek dengan Jogja. Jujur saya susah menemukan makanan pengganti deso ini di Jakarta.


BAKSO GORENG JOGJA
Bakso Jogja asli itu cirinya selalu ada bakso gorengnya. Bahannya dibuat dari bahan Kanji yang dicampur mie dan daging yang sama-sama dilembutkan, dibentuk bulet-bulet (namanya juga bakso) terus digoreng. Cara penyajiannya sama seperti bakso yang lainya plus bakso goring. Tapi ini beda dengan bakwan malang karena yang ada hanya bakso basah daging, bakso goreng, daging, mie kuning, dan tahu dengan kuah yang sangat kental, uenak. Bakso goring bisa disajikan bulat utuh atau bisa dipotong-potong. Kalau saya lebih suka bulat-bulat utuh, lebih alot dan kriuk. Selesai makan dijamin padhang donyane, teranglah dunianya. Mau coba bakso goreng yang keras, dan uenak boleh tanya saya. Saya pemburu bakso enak sejak SD, kira-kira dari akhir tahuan 80-an sampai sekarang ke seluruh pelosok Jogja :-p

SATE KOYOR
Sate manis popular juga dengan nama sate kere atau sate laler (lalat) karena potongan dagingnya kecil-kecil dari lemak daging sapi. Cara menyantapnya dengan makan panas-panas karena kalau menunggu dingin akan jadi ngendal gajih, beku keras. Anda bisa makan sambil jalan-jalan menyelusuri Malioboro atau paling joss gandos makan sambil nongkrong sore-sorean di atas Benteng Vredeburg. Sate yang dipincuk (bungkus dari daun pisang) ini dijual di depan Pasar Beringharjo.

Dulu ini menjadi oleh-oleh wajib kalau ibu saya pulang belanja di Pasar Beringharjo. Dan sampai sekarang menjadi makanan wajib pulang ke Jogja.


JANGAN BRONGKOS
Jangan (bahasa Indonesianya sayur) Brongkos yang pasti truly Jogja! Melihat tampilan visual dan rasanya mirip dengan Rawon, dan sedikit-sedikit mendekati Tongseng karena bergulung-gulung daging dengan kuah

kecoklat-coklatan, cuma jangan ini miskin kuah.
Ternyata ada dua versi yang cukup berbeda content Jangan Brongkos ini; ada yang hanya berisi daging tapi ada yang berisi Tahu, Telur dan Kacang-kacangan, namun secara rasa kuah tetep sama.

Jangan lupa untuk mencoba jangan ini Anda bisa menemukan banyak warung di daerah Pasar Tempel, Sleman perbatasan Jogja-Muntilan di bawah Jembatan Krasak, Salam.



BAKMI PLECING
Mie ini saya temukan di pedalaman yang sangat dalam, di pedalaman Bantul, Desa Guntur Geni, desa yang sudah mendekati Pantai Pandansimo. Saya melihat dan coba tanya-tanya sepertinya hanya tinggal ada satu warung yang jualan(?) yang saya temui. Bakmi Plecing ini bahan utamannya dibuat dari mie lethek (kotor) yang sudah ada sejak zaman Jepang (suaramerdeka) Cara masaknya sama seperti bakmi-bakmi jawa yang lain, cuma warna penyajiannya tidak menarik, dengan visual coklat kotor dihiasan potongan-potongan Cabe Hijau, pokoknya desitlah tampilane tapi rasanya...(tak bisa berkata-kata) sepertinya Tuhan ikut masak, istilahnya Lila, garwoku!


JADAH TEMPE
Makanan yang banyak ditemukan di daerah Kaliurang, kaki Gunung Merapi. Makanan dengan material Ketan dan Kelapa yang dipadatkan dengan cara ditumbuk. Cara makannya berbarengan dengan Tempe atau Tahu Bacem, warung yang paling dikenal adalah Jatah Tempenya Mbah Carik--karena dia sang pelopor.

JENANG UPEH
Jenang dengan warnanya yang putih, karena bahannya berasal dari beras dan santan yang dibekukan beberapa hari ke dalam pelepah pohon kelapa. Hasil akhirnya rasa dan bentuknya seperti Sagu. Teknis makanya paling pas dengan Tempe, Tahu atau Gembus (ampasnya Tahu) Bacem. Makanan kuno ini saya temukan di tengah-tengah Pasar Sleman, dengan penjual mbah-mbah tua.











Foto-foto: Tembi, TrulyJogja, Lila, Genep

14 Januari 2008

MENGGENAPI JILID DUA


ISTILAH “jilid dua” pernah populer di tahun 90an, saat Soeharto memberikan kekuasaannya kepada B.J. Habbie. Dipakai lagi untuk melabeli DOM (Daerah Operasi Militer) dan Partai Golkar yang coba eksis lagi dengan nama tambahan Golkar Baru. Dan terakhir yang saya tahu jilid dua utuk de-Soekarnoisasi yang ditulis oleh Asvi Warman Adam indonesiaberjuang

Blog MENGGENAPI pun mengalami jilid dua, tapi bukan sok ikut-ikutan mereka ya! Blog dengan nama menggenapi dulu pernah ada, mungkin Anda pernah membaca atau cuma mampir sebentar, terima kasih ya! Blog itu kini menjadi monumen bagi saya, dan menjadi sampah virtual, mungkin? Alasan tepatnya yang coba ditepat-tepatkan, semoga tidak Pastinya karena suatu hal teknis yang tidak mampu saya atasi maka blog menggenapi lama tidak bisa diperbarui lagi, dan saya merekan itu menjadi tugu monumental yang tak terawatt seperti gedung-gedung tua atau patung-patung di Indonesia. Biarkan blog itu menggenapi sejarah keberadaan saya.

Jadi, sekarang saya coba membuat lagi yang baru tapi masih dengan nama yang sama. Ya, saya tetap mempertahankan nama itu karena merasa nyaman dengan nama menggenapi, sepertinya ada identitas yang sama dengan nama saya Genep. Dan seakan-akan dengan memakai nama mengenapi, blog ini punya misi yang mulia yang mendekati misi kenabian gitu, seperti yang ditulis dalam Kitab Suci. Halah, padahal ya nggaklah! Le mbagusi temen, misinya ya coba menyampaikan apa yang saya pengen tulis; MENULIS JUJUR semoga! Tapi kalau dirasa belum jujur, atau Anda pembaca masih merasa menemukan kata-kata sok heroik, nyuwun sewu atas ketidak jujuran saya! Atau jangan-jangan, saya sudah jujur. Jujur bawah sadar saya memang orang yang sok hebat, dan sok…sok an yang lain. Semoga tidak!

Selamat datang, selamat mengenali saya! Semoga MENGGENAPI ini memberikan setitik penggenapan di kehidupan kita semua, salam!