15 Januari 2008

JOGJA KEMBALI MENGGOYANG LIDAH


TIBALAH sudah penantian panjang kami, 26 Desember 2007 menjadi tanggal yang sangat keramat bagi keluargaku; kegembiraan yang sekaligus juga menegangkan. Karena hari Rabu tanggal itu kami balik ke Jogja, ini menjadi tekad besar kami setelah sekian lama saya dan garwoku tidak mencium tanah kelahiran—kami sama-sama asli Jogja. Dan pulkam ini sekalian menjadi bagian dari rencana mengenalkan kampoeng halaman Marcellus Matahari Putra Java (Cellus) anak, semata wayang kami yang berumur 15 bulan.

Sekedar cerita tambahan, kalau kami selesai menghitung hari H ke Jogja. Kami berdua selalu mengakhirinya dengan ritual gaya dan teriakan “Jogja...Jogja...Jogja...!!” (seperti iklan rokok di TV), wagu!

Begitu habis masa nostalgia dan beranjak meninggalkan Jogja, selalu ada kegelisahaan pada diri saya, karena kota ini tidak pernah bisa memuaskan—extrimnya sampai taraf bosan—diri saya, selalu ada saja yang kurang. Ketika sampai di Jakarta lewat YM! seorang teman di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sempat tanya; memang belum puas 10 hari di kampoeng halaman? Saya hanya bisa jawab dengan sebuah pepatah “dalamnya laut bisa diukur, dalamnya Jogja nggak ada yang tahu.”

Karena itu saya tidak akan cerita masalah tempat-tempat di Jogja karena bagi saya masuk ke wilayah teritorial Jogja semua menjadi berarti mulai dari anginnya, baunya, debunya, airnya, sampai yang jelas-jelas ketok mata semua menjadi berarti, bisa sampai bergidik, kalau membicarakan Jogja dan dalam hati bisa berujar pancen asu Jogja ki. Makanya saya hanya akan cerita tentang makanan-makanan saja yang berselera lidah deso Jogja aja ya?!

Cinta, mencitai kadang berawal dari lidah turun hari, siapa tahu Anda juga bisa mencintai Jogja melalui makananya. Tapi yang saya tulis ini hanya sedikit jumlahnya dari makan-makanan yang ada, dan ini sifatnya sangat subyektif—karena ini makanan-makanan yang bikin saya klepek-klepek dengan Jogja. Jujur saya susah menemukan makanan pengganti deso ini di Jakarta.


BAKSO GORENG JOGJA
Bakso Jogja asli itu cirinya selalu ada bakso gorengnya. Bahannya dibuat dari bahan Kanji yang dicampur mie dan daging yang sama-sama dilembutkan, dibentuk bulet-bulet (namanya juga bakso) terus digoreng. Cara penyajiannya sama seperti bakso yang lainya plus bakso goring. Tapi ini beda dengan bakwan malang karena yang ada hanya bakso basah daging, bakso goreng, daging, mie kuning, dan tahu dengan kuah yang sangat kental, uenak. Bakso goring bisa disajikan bulat utuh atau bisa dipotong-potong. Kalau saya lebih suka bulat-bulat utuh, lebih alot dan kriuk. Selesai makan dijamin padhang donyane, teranglah dunianya. Mau coba bakso goreng yang keras, dan uenak boleh tanya saya. Saya pemburu bakso enak sejak SD, kira-kira dari akhir tahuan 80-an sampai sekarang ke seluruh pelosok Jogja :-p

SATE KOYOR
Sate manis popular juga dengan nama sate kere atau sate laler (lalat) karena potongan dagingnya kecil-kecil dari lemak daging sapi. Cara menyantapnya dengan makan panas-panas karena kalau menunggu dingin akan jadi ngendal gajih, beku keras. Anda bisa makan sambil jalan-jalan menyelusuri Malioboro atau paling joss gandos makan sambil nongkrong sore-sorean di atas Benteng Vredeburg. Sate yang dipincuk (bungkus dari daun pisang) ini dijual di depan Pasar Beringharjo.

Dulu ini menjadi oleh-oleh wajib kalau ibu saya pulang belanja di Pasar Beringharjo. Dan sampai sekarang menjadi makanan wajib pulang ke Jogja.


JANGAN BRONGKOS
Jangan (bahasa Indonesianya sayur) Brongkos yang pasti truly Jogja! Melihat tampilan visual dan rasanya mirip dengan Rawon, dan sedikit-sedikit mendekati Tongseng karena bergulung-gulung daging dengan kuah

kecoklat-coklatan, cuma jangan ini miskin kuah.
Ternyata ada dua versi yang cukup berbeda content Jangan Brongkos ini; ada yang hanya berisi daging tapi ada yang berisi Tahu, Telur dan Kacang-kacangan, namun secara rasa kuah tetep sama.

Jangan lupa untuk mencoba jangan ini Anda bisa menemukan banyak warung di daerah Pasar Tempel, Sleman perbatasan Jogja-Muntilan di bawah Jembatan Krasak, Salam.



BAKMI PLECING
Mie ini saya temukan di pedalaman yang sangat dalam, di pedalaman Bantul, Desa Guntur Geni, desa yang sudah mendekati Pantai Pandansimo. Saya melihat dan coba tanya-tanya sepertinya hanya tinggal ada satu warung yang jualan(?) yang saya temui. Bakmi Plecing ini bahan utamannya dibuat dari mie lethek (kotor) yang sudah ada sejak zaman Jepang (suaramerdeka) Cara masaknya sama seperti bakmi-bakmi jawa yang lain, cuma warna penyajiannya tidak menarik, dengan visual coklat kotor dihiasan potongan-potongan Cabe Hijau, pokoknya desitlah tampilane tapi rasanya...(tak bisa berkata-kata) sepertinya Tuhan ikut masak, istilahnya Lila, garwoku!


JADAH TEMPE
Makanan yang banyak ditemukan di daerah Kaliurang, kaki Gunung Merapi. Makanan dengan material Ketan dan Kelapa yang dipadatkan dengan cara ditumbuk. Cara makannya berbarengan dengan Tempe atau Tahu Bacem, warung yang paling dikenal adalah Jatah Tempenya Mbah Carik--karena dia sang pelopor.

JENANG UPEH
Jenang dengan warnanya yang putih, karena bahannya berasal dari beras dan santan yang dibekukan beberapa hari ke dalam pelepah pohon kelapa. Hasil akhirnya rasa dan bentuknya seperti Sagu. Teknis makanya paling pas dengan Tempe, Tahu atau Gembus (ampasnya Tahu) Bacem. Makanan kuno ini saya temukan di tengah-tengah Pasar Sleman, dengan penjual mbah-mbah tua.











Foto-foto: Tembi, TrulyJogja, Lila, Genep

Tidak ada komentar: